MENERAPKAN METODE HOME VISIT KEPADA SISWA DENGAN KONDISI LIMITED EDITION
Dalam setiap saat pengambilan keputusan, hal terbaik
yang bisa kita lakukan adalah hal yang benar, hal terbaik berikutnya adalah hal
yang salah dan hal terburuk yang dapat kita lakukan adalah tidak melakukan
apa-apa. Hidup memang penuh dengan pilihan namun pilihan mana yang akan kita
pilih adalah sesuatu yang akan menentukan masa depan kita begitu pun dengan
pendidikan.
Pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
masa depan namun bagaimana jika untuk menempuh pendidikan faktor ekonomi
menghancurkan harapan sebagian mimpi anak di sudut kota. Kita tidak bisa
memilih dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan dan berlimang tahta namun
setidaknya kita dapat memilih untuk mati dalam keadaan yang terbatas atau tanpa
keterbatasan sehingga bukan salah kita saat ini berada dalam keluarga yang
serba kekurangan di tengah kehidupan kota metropolitan.
Pemerataan ekonomi di negara kita tercinta bagaikan fatamorgana
utopia di tengah gurun gersang tak berujung jika kedaulatan produksi dan pangan
tetap dikelola bukan oleh orang berjiwa Indonesia. Di sini dari hulu ke hilir ekonomi
dibanjiri oleh para pendatang bermental penakluk yang tidak mempuyai orientasi
gotong royong seperti pahlawan dan leluhur kita sedangkan sekarang pemimpin dan
wakil parlemen seolah menjual rakyatnya sebagai pekerja romusha model baru.
Dewasa ini meskipun seseorang mempuyai sumber daya
berkualitas belum tentu dia dapat survive dalam pasar masyarakat kita jika
tidak diimbangi dengan orang dalam jaringan dari hulu sampai ke hilir, ibarat
seorang yang mempunyai ijazah universitas ternama namun tidak di imbangi
kemampuan dan kualitas diri orang tersebut tetap akan terlindas oleh besarnya
pengaruh pasar. Begitu sengitnya pertarungan antar dominasi dalam sector ekonomi
di jalur legal terkadang memaksa seseorang untuk menjalankan bisnisnya di jalur
illegal demi untuk meraup keuntungan. Karena masifnya praktik kecurangan dilakukan
berulang-ulang oleh pejabat publik menjadikan hal yang bersifat illegal berubah
menjadi budaya bahkan peraturan tak tertulis yang sudah dilabel menjadi
kelumrahan yang ada dimasyarakat sehingga proses prosedural sangat dijunjung
demi suburnya praktik abu-abu yang mengharuskan “uang pelicin” atau “salam tempel” sebagai syarat transaksional.
Sehingga tidak ada standart baku yang pasti untuk mengukur bagaimana efektif
dan efisiensinya pelayanan publik karena datanya akan berbenturan dengan campur
tangan para pemangku kepentingan.
Keadaan tersebut akan bertambah parah jika sebuah
kegentingan melanda berskala nasional seperti datangnya sebuah virus varian
baru yang tak kasat mata bernama COVID-19 yang sudah menginfeksi banyak negara
lain. Virus ini dengan tingkat penularan yang cepat dapat terjadi penularan
saat seseorang menyentuh barang yang mungkin saja sudah terkontaminasi oleh
droplet orang lain. Lalu virus tersebut berpidah ke hidung, mulut, mata dari
sentuhan barang yang terkontaminasi tadi. Virus ini memaksa setiap orang
menerapkan isolasi dan protokol kebersihan dan tepat awal bulan maret 2020
grafik siklus penyebaran virus ini menanjak naik memaksa pemerintah
memberlakukan lockdown atau isolasi berskala nasional selama dua pekan dan
langsung merontokkan index saham gabungan indonesia mematikan pergerakan
perekonomian khususnya bidang produksi dan distribusi menyebabkannya
melambungkan harga jual dan menipisnya jumlah barang.
Orang yang
masih mempuyai uang tanpa empati memborong semua bahan pokok dan obat-obatan
tak kecuali spekulan yang juga dengan kemampuan jaringan di hulu distribusi
barang membeli barang kebutuhan pokok dengan skala besar dengan maksud menimbun
barang hingga harganya melambung karena kondisi permintaan barang yang tinggi
bersanding linier dengan kekosongan stok barang dipasaran. Sedangkan bagi
keluarga yang hanya bisa mencukupi kebutuhan hidup untuk sehari harus memilih
pilihan mengabaikan intruksi pemerintah dan mencari recehan di tempat yang
kadang berbahaya untuk tubuhnya guna menyambung hidup keluarganya. meskipun
begitu kehidupan harus tetap berjalan tangisan harus tetap dihapus, perut harus
tetap di isi, susu harus tetap mengalir dan dapur harus tetap mengepul hanya
munajat doa untuk Tuhan semesta alam senjata dan perisai bagi tulang punggung
keluarga.
Pandemi Covid-19 merenggut siapa saja yang tak
memperdulikan kondisi tubuhnya. Orang tua yang berkewajiban untuk memberikan
penghidupan bagi anak-anaknya terkadang menomorduakan keselamatan mereka
sendiri. Keputusan untuk bertahan hidup di era pandemi terkadang membawa resiko
yang harus ditanggung oleh siapapun yang memilih untuk hidup meskipun resikonya
akan tetap dirasakan di tahun-tahun setelahnya. Begitulah di surabaya khususnya
daerah simo tempat SMK Pawiyatan berada tempat saya membagi ilmu dan menempa
diri dengan ilmu untuk memandu memberikan alternatif kehidupan bagi tunas yang
sedang bertumbuh untuk mengisi kemerdekaan yang diperjuangkan oleh leluhurku
dengan darah dan perjuangan.
Di Surabaya dalam dua pekan penyebaran pandemi
covid-19 mengubah index zona penyebaran yang awalnya kuning menjadi merah
bahkan hitam yang artinya perhari rumah sakit menerima pasien Covid-19 melebihi
kapasitas dari rumah sakitnya namun juga bisa dilihat bahwa nilai
ketidakpedulian masyarakat surabaya akan bahayanya pandemi covid-19 sangat
rendah bisa karena pemahaman dan pengetahuan terhadap virus dan kesehatan yang
minim atau karena tuntutan hidup yang harus dilakukan untuk membiayai kehidupan
keluarganya yang memaksa orang untuk tetap bekerja dan mengais penghasilan
seperti keluarga dari salah satu siswa kelas X OTKP-1 yang tetap bekerja
ditengah pandemi ayahnya yang bekerja menjadi tukang becak harus terpaksa untuk
beralih profesi sebagai ojek online agar tetap bisa mencukupi kebutuhan
keluarganya meskipun harus meminjam motor tetangga karena ibunya yang sakit.
Menghidupi tiga orang anak dengan istri yang sedang
sakit membuat ayahnya memutar otak agar bagaimana keluarga mereka setidaknya
bisa makan tiga kali sehari lengkap dengan lauknya. Hidup yang keras bagi kedua
orang tuanya tetap memaksakan anaknya harus tetap bersekolah, saat itu siswi
tersebut masih duduk di kelas IX SMP Negeri di daerah simo namun karena
nilainya yang kurang ia tidak dapat masuk ke sekolah negeri dan tepat bulan
Juli 2020 ia resmi menjadi siswa SMK Pawiyatan di Kelas X jurusan Otomatisasi
Tata Kelola Perkantoran. Dengan mimpi orang tuanya yang ingin anaknya bisa
bekerja dikantor mereka mendaftarkan dengan bantuan sanak saudaranya.
Saya oleh sekolah diberikan amanah sebagai wali kelas
X di era yang baru, dimana belum pernah sekolah kami melakukan kegiatan belajar
mengajar secara daring karena tuntutan keadaan yang tidak memungkinkan untuk
bertatap muka. Siswa di masa transisi sifat bawaan kekanak-kanakan masih
melekat yang membuat saya harus kerja extra untuk memastikan anak-anak
khususnya anak kelas X OTKP-1 bisa menangkap pelajaran dan beradaptasi dengan
moda pelajaran yang baru ini.
Di awal kegiatan pembelajaran dengan sering intens
berkomunikasi melalui media chatting whatsapp saya bisa memastikan semua anak
dapat mengoperasikan ponsel pintarnya untuk menyerap pelajaran dari para
pendidik di sekolah. Meskipun harus satu persatu mengajari pengoperasian dan
kontrol ketat saya bersyukur selama dua bulan berjalan siswa saya X OTKP-1
sudah terbiasa absensi dan merespon pelajaran dengan sistem daring. Namun
menginjak bulan ketiga dan menghadapi penilaian tengah semester beberapa siswa
mulai muncul banyak permasalahan dari kebiasaan bangun tidur hingga tidak
adanya quota internet untuk belajar.
Saat daring memang banyak permasalahan siswa
berkonteks masalah pribadi individual sehingga dari satu anak dengan anak yang
lain berbeda. Namun ada satu permasalahan umum untuk siswa berkendala mengikuti
pembelajaran daring adalah quota internet dan kebutuhan ponsel android. Untuk
ponsel memang tidak semua siswa mempunyai-nya tapi setidaknya satu keluarga
minimal mempunyai ponsel untuk melakukan pembelajaran daring dan kami bersyukur
pada saat itu bantuan quota internet kemdikbud datang dan hampir menyelesaikan
semua permasalahan daring anak-anak kami meskipun beberapa anak yang bahkan
pagi harus saya telpon agar bangun dan melakukan kegiatan belajar mengajar
daring tepat waktu sesuai jadwal.
Saat penilaian tengah semester tiba ada satu anak yang
tidak mengikutinya yaitu salah satu siswi yang tidak saya sebutkan namanya
(Anonim), saya mencoba untuk menghubungi nomornya namun tidak aktif begitu juga
dengan akun chatting whatsapp-nya juga tidak aktif. Sehingga saya harus mencari
datanya di sekolah karena mau tidak mau harus home visit dirumahnya untuk bisa
bertatap muka mencari solusi dari permasalahannya. Ketika mencari datanya saya
mengetahui jika dana bantuan operasional sekolah atau SOS mulai agustus tidak
pernah dibayar oleh siswi tersebut dan bantuan quota internet juga tidak
diambil di sekolah dan di hari itu juga ketika saya sudah mendapatkan alamatnya
saya berangkat melakukan home visit.
Salah satu tantangan yang saya hadapi adalah dimana saya
belum mengetahui letak rumah siswa. Dengan melalui beberapa kondisi saat
perjalanan home visit dan setelah bertanya-tanya beberapa orang saya berakhir
di sebuah rumah mungil di samping rel kereta api, bata putihnya masih terlihat
jelas ketika masuk ruang tamu digabung dengan ruang keluarga dan dapur
sedangkan ada satu ruang tidur tempat ibunya terkulai lemah. Siswi tersebut
menangis menceritakan jika ayahnya barusan beberapa minggu meninggal karena
covid-19 sedangkan ibunya terkulai lemah karena sakit TBC ketika bekerja di
pabrik ban katanya. Untuk makan aja kesulitan apalagi untuk membeli paketan,
ponsel kakaknya yang selama ini digunakan untuk belajar dipakai kakaknya untuk
melanjutkan akun ojek online ayahnya agar mereka sekeluarga bisa makan.
Dari kondisi homevisit yang saya lalui saat itu, saya juga
berusaha menyemangatinya untuk tetap semangat dalam menjalani hidup meskipun
tiap hari ia harus mengurus ibunya yang sakit dan menyiapkan keperluan kakak
dan adiknya. Hidup yang serba keterbatasan membuatnya harus memilih prioritas
dalam hidupnya, kesembuhan ibunya dan mengurus kebutuhan adalah pilihan
prioritas yang ia pilih daripada tetap melanjutkan sekolah. Namun saya tetap
memberikan kesempatan kepada siswi tersebut untuk tetap melanjutkan sekolah dengan
menyelesaikan beberapa tugas yang harus diselesaikan oleh siswa dan saya tetap
memberikan penguatan kepada siswa untuk tidak memikirkan biaya sekolah terlebih
dahulu. Dari kondisi terebut saya harus menerapkan metode homevisit terhadap
siswi sehingga saya bisa mendampingi untuk menyelesaikan tugas-tugas dan
begitupun dengan ujian sekolah PTS karena siswi tersebut sudah tertinggal
banyak pembelajaran. Selain itu saya juga bisa berinteraksi langsung untuk
membantu siswa dalam kesulitan pembelajaran
atau tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Sehinga metode homevisit ini
memiliki pengaruh yang sangat besar kepada siswi yang memiliki kondisi limit
edition dan bisa menjadi bahan evaluasi untuk guru saat siswi memiliki
keterbatasan dalam kondisi keluarga atau permasalahan yang lainnya.
Dengan demikian pemaparan saya di atas dapat kita
lihat betapa pentingnya pendekatan antara guru dan siswa saat ini. Karena
dengan adanya pendekatan antara wali kelas, guru dan siswa bertujuan untuk
menimbulkan semangat kembali siswa karena merasa mereka diperhatikan dan kita
sebagai guru tidak bisa menyalahkan siswa sepenuhnya jika mereka selama ini
tidak bisa atau belum mengikuti pembelajaran sama sekali tanpa mengetahui
kondisi siswa sesungguhnya. Dan marilah kita renungkan kembali apa yang
sebenarnya kita dapatkan dari contoh kehidupan siswi tersebut? Apakah bantuan
pemerintah dan bantuan sanak saudara jika hanya cukup untuk hidupnya selama sebulan
sisanya bagaimana?
By Lilis Rahayu, S.Pd
Komentar
Posting Komentar