GAMBARU
Kata gambaru atau biasanya diucapkan gambatte
kudasai adalah suatu falsafah hidup masyarakat jepang. Gambaru atau Gambatte
Kudasai yang mempuyai makna sebagai semangat berjuang hingga titik penghabisan.
Semangat ini digunakan sebagai dasar untuk setiap orang dalam berlatih untuk
berani menghadapi tantangan, karena sebenarnya dalam kehidupan senantiasa
masalah akan selalu ada dan kita tidak selalu mendapat kemudahan untuk
mengatasinya.
Semangat ini mengajak untuk melatih kesadaran
pada setiap orang untuk siap menghadapi tantangan dan kesulitan sehingga
semangat untuk terus berlatih kemampuan diri, berjuang sekuat tenaga guna
mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Seperti keadaan dunia dua tahun
terakhir ini, saat sebuah virus epidermic melululantakkan hampir seluruh dunia.
Mematikan prekonomian, memaksa banyak orang untuk menjaga jarak menghindari
kerumunan dan membuat banyak orang hidup dalam banyang-bayang kematian.
Tantangan berat bagi kita yang harus melewati
era pandemic yang tidak ada kepastian kapan era ini berakhir, semangat gambaru
ini harusnya menjadikan orang akan menjadi kuat dalam menghadapi kenyataan
kehidupan, berlatih terus untuk melakukan protocol kesehatan, mengatur pola
hidup yang lebih sehat dan akhirnya kita bisa meraih kemenangan sebagai seorang
yang selamat dari badai virus yang pada tahun ini trennya sudah menurun
drastis.
Hadapi setiap tantangan dengan semangat dan
kekuatan yang anda miliki, terus bergairah untuk terus berlatih menghadapi
masalah sepertinya selaras dengan semangat pendidikan. Pendidikan juga tidak
lepas dari pelatihan dan pengajaran. menurut KI Hajar Dewantara tentang
dasar-dasar pendidikan yang bertujuan agar anak-anak dapat mencapai keselamatan
dan kebahagian yang setinggi-tingginya. Peran pendidik bisa dibaratkan sebagai
seorang tukang kebun yang ditugaskan untuk merawat dan memenuhi kebutuhan
tanaman agar tumbuh dengan baik, tentu akan berbeda perlakuan antar setiap
tanaman. Kita sebagai pendidik harus bisa melayani segala bentuk kebutuhan
metode belajar siswa yang berbeda-beda.
Kita sebagai harus memberikan kebebasan pada
siswa untuk mengembangkan ide, berfkir kreatif dan mengembangkan bakat dan
minat anak-anak. Ki Hajar Dewantara juga mengingatkan kepada para pendidik
untuk tetap terbuka dan mengikuti perkembangan zaman. Maka hal terpenting yang
harus dilakukan seorang pendidik adalah menghormati dan mempelakukan anak
dengan ketulusan hati sehingga dapat memberikan teladan (ing ngarso sung
tulodho), membangun semangat (ing madyo mangun karso) dan memberikan dorongan
(tut muri handayani) bagi tumbuh kembang anak.
Tapi pada kenyataannya dilapangan jika
merujuk data dari PISA (Programme for International Student Assessment) yang
melakukan survey evaluasi sistem pendidikan didunia yang mengukur kinerja siswa
kelas pendididkan menengah yang diadakan
oleh Organisation for Ekonomic Cooperation and Development (OECD) pada tahun
2018 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-74 dari 79 yang
diikuti oleh 600 orang anak berusia 15 tahun dari 79 negara tersebut.
Penelitian didasarkan pada aspek: kemampuan sains, membaca, matematika,
literasi keuangan dan pemecahan masalah. Hal ini terjadi bisa jadi karena
adanya perspektif tentang standar yang sama pada murid, tuntutan dari orang tua
yang menuntut anaknya menjadi sempurna dalam berbagai hal pelajaran ditambah
dengan pendidik yang menuntut muridnya untuk bisa mengerti pelajaran yang
diajarkan padahal itu bukan bidang yang dia minati atau kuasai.
Nilai yang kehilangan valuenya akan
menjadikan parameter dari pengetahuan dan kemapuan siswa menjadi tidak penting
karena dalam mencari sebuah nilai banyak siswa melakukan ketidakjujuran dan
bahkan pendidik melakukan penilaiannya tanpa ada keadilan dengan tidak melihat
kondisi dari para siswa itu sendiri. Dengan literasi yang rendah banyak
pendidik mengajari muridnya untuk menghafal bukan memahami memaksakan arti
sempit sedangkan dengan cara memahamkan, siswa dapat berimajinasi dengan arti yang
lebih luas yang menumbuhkan kreatifitas.
Melihat hal dilapangan setidaknya kita
sebagai pendidik biasa tanpa adanya kekuatan lebih untuk menetukan kebijakan,
mari kita merefleksikan pesan Ki Hajar Dewantara dalam ing madyo mangun karso
dalam pribadi dan kepada anak didik kita. Karena semangat berada dalam setiap
diri manusia yang akan bisa tumbuh tanpa intervensi dari pengaruh lingkungan. Semangat
Gambaru dalam pendidikan membuat kita terus bergairah berlatih melakukan
perubahan sesuai dengan zamannya.
Sedangkan semangat Gambaru ini bagi siswa juga
akan melatih anak untuk lebih mandiri dalam menghadapi banyak persoalan di
sekolah dan di rumah dengan mengedepankan etika dan moral dari pada ilmu
pengetahuan yang berfokus pada mempelajari tata karma di masyarakat, bersikap
lembut pada setiap makhluk hidup, mempelajari keadilan dan menanamkan murah
hati untuk membantu orang lain. Dengan menumbuhkan semangat gambaru kesadaran
akan kesehatan bisa ditumbuhkan pada anak-anak dengan menyadari bahwa kelas
atau lingkungan sekolah adalah bagian kehidupan mereka sehingga kebersihannya
harus perlu dijaga.
Anak-anak dilatih untuk bertanggung jawab
atas kebersihan di setiap fasilitas sekolah setelah mereka gunakan, mereka akan
bekerjasama sebagai anggota tim untuk membagi pekerjaan-pekerjaan seperti
menyapu, mengepel dan membuang sampah setelahnya. Dalam terapannya daripada
banyak teori, melakukan praktik pelaksanaan pendidikan di kehidupan sehari-hari
dari mulai sejak dini dengan belajar “bagaiman cara untuk hidup” adalah
pelajaran fundamental dengan mengenalkan anak-anak pada pengetahuan alam
sekitar.
Saat semangat dalam diri anak-anak telah muncul
maka sesuai pesan dari Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik harus dapat menjadi
ing ngarso sung tulodho bagi siswa-siswanya, karena bagaimanapun pendidik
adalah orang tua kedua bagi murid-muridnya. Mereka bisa tanpa sengaja melakukan
imitasi dari sikap dan tingkah laku guru mereka. Sehingga perlu kita koreksi
apakah sikap buruk dari beberapa murid kita itu berasal dari lingkungan diluar
sekolah ataukah sikap kita yang mereka contoh.
Sikap seorang pendidik yang kadang mungkin sering
mengeluh, suka mencari-cari alasan, sering merendahkan muridnya atau galau
seperti seorang melankonis secara tidak langsung bisa sebagai contoh yang tidak
baik, karena tanpa sadar mereka akan mereka hal itu sebagai hal wajar yang
harus dilakukan. Meskipun banyak peroblematika menjadi seorang guru, guru atau
pendidik adalah cermin bagi murid-muridnya setiap tindak tanduknya bisa menjadi
contoh maka kesadaran sebagai teladan harus tertanam dan mengakar kuat dalam
sanubari seorang guru sehingga semangat gambaru selaras bagi pendidik untuk
juga berjuang dalam kehidupan tanpa harus menciderai muridnya dengan
contoh-contoh prilaku yang kurang sesuai dengan usia mereka.
Mengubah sesuatu kebiasaan memang sulit yang
tak semudah seperti membalikkan telapak tangan, kondisi pendidikan negara kita
yang buruk juga bagian dari tanggungjawab kita sebagai seorang pendidik maka
perlu semangat gambaru untuk berani berubah, berani belajar, berani untuk
bergerak maju meskipun tidak ada tunjangan, upah yang tidak lebih besar dari pada
upah seorang buruh tani, kurangnya fasilitas dalam belajar, tuntutan perangkat
ajar yang dibebankan, budaya kerja yang buruk dalam instansi dan belum lagi
problematika dalam rumah tangga yang juga kadang menggangu kosentrasi sebagai
seorang pendidik tetap harus tegak berdiri, bersikap ramah kepada anaknya
dikelas dan membimbing mereka sesuai dengan minat dan bakat anaknya seperti
pesan terakhir Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan tut wuri handayani
meskipun lemah tak berdaya guru di belakang anak-anaknya harus kuat dan memberi
daya kekuatan.
***
by Lilis Rahayu, S.Pd
Komentar
Posting Komentar